A Journey to Aceh: The Nekat Traveler

Rabu, 17 Desember 2008

“Kalau ingin rencanmu tidak mengalami kegagalan, janganlah merencanakan sesuatu”

Setelah sekian lama berharap, akhirnya pada awal Desember kemarin bisa kesampaian juga berkunjung ke Aceh. Dengan demikian, impian untuk keliling nusantara tinggal satu pulau lagi yaitu Kalimantan. Pulau-pulau lain seperti Bali, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi, Ambon, serta Ternate sudah pernah kudatangi, lebih-lebih pulau Jawa yang selama ini ku tinggali. Bagiku, menjejakkan kaki pertama di daerah baru rasanya sudah sama dasyatnya seperti Niel Amstrong yang mendarat pertama kali di bulan atau seperti Colombus yang menemukan pertama benua Amerika…. bener-bener “mak nyusss” di hati. Apalagi pertama kali naik Garuda, meskipun bukan kelas bisnis tapi lebih uenak dan nyaman dibandingkan biasanya yang naik Lion Air, Adam Air (alm.), maupun Merpati Air.

Kunjungan ke Aceh kali ini sebenarnya terancam pupus karena kesulitan koresponden lokal sehingga jadwal perjalanan “dinas” harus ditangguhkan. Namun tiba-tiba sehari sebelum keberangkatan, ada pemberitahuan, “besok akan ke Aceh, kalau mau ikut kamu cari tiket sendiri nanti di-reimburse”. Singkat kata, akhirnya dapat tiket PP meskipun ga ngerti seluk beluk Aceh dan nanti mau ngapain. Yang ada dibenakku saat itu “yang penting bisa ke Aceh, urusan lain-lain bagaimana nanti”. Meminjam istilah dari seorang blogger dengan nick Trinity: the naked traveler. Perjalanan buta, dengan persiapan seadanya. Lebih tepatnya adalah NEKAT TRAVELER, mirip suporter Persebaya Surabaya yang dikenal sebagai Bonek (bondho nekat).

Saking tak inginnya keberangkatan ke Aceh gagal, aku naik taxi ke bandara Soekarno-Hatta dan tiba jam 7.30, meskipun keberangkatan ke Aceh baru jam 9.30. Lebih baik nunggu di bandara, daripada terjebak macet, maklum Jakarta gitu loh. Penerbangan Jakarta – Banda Aceh tidak langsung, tetapi transit dulu di Medan. Sama seperti masuk bandara, masuk ruang transit juga harus melewati metal detektor. Pada waktu pemeriksaan di Polinia Medan, gunting lipat saya ”terdeteksi” oleh petugas bandara dan diminta untuk dikeluarkan dari tas dan ditinggal (benda tajam tidak boleh masuk kabin pesawat). Padahal waktu di Soekarno-Hatta, pemeriksaan yang sama tidak bermasalah. Saya ga ngerti, sebenarnya bandara yang internasional itu yang mana? Seharusnya bandara Soekarno-Hatta tidak kecolongan dengan ”ulah nakal” saya yang sengaja membawa gunting ke kabin meskipun dalam keadaan terlipat.

Seteleh ”insiden” bandara terlewati, akhirnya jam dua siang, pesawat GA 142 yang kunaiki mendarat juga di Banda Aceh yang disambut dengan gerimis, seakan menggambarkan haru biru hatiku yang diberikan kesempatan oleh Allah untuk melihat dengan dekat Aceh, kota yang mendapat titel Serambi Mekah, kota yang ”terluka” akibat konflik kepentingan berkepanjangan, kota yang penduduknya diuji dengan gelombang pasang Tsunami.

Bagaimana kondisi Aceh saat ini? Hal-hal apa yang menarik dan memperihatinkan? Pelajaran apa yang bisa dipetik hikmahnya? Nantikan jawabannya pada postingan selanjutnya.


Diposting oleh alhayat di 12/17/2008  

6 komentar:

whhehwhehw tpi seru
kl saya nekat pertama kali ke batam

Cebong Ipiet mengatakan...
17 Desember 2008 pukul 12.25  

wah..
ditunggu oleh2 e dit
tapi ojo ganja lho..hehe

Anonim mengatakan...
19 Desember 2008 pukul 10.28  

bentar lagi udah jadi pengeliling indonesia ya? sip, mas. kapan2 aku diajakin yo!

Haris Firdaus mengatakan...
21 Desember 2008 pukul 12.14  

wah enaknya bisa keliling nusantara!!
jadi kepengen :D

Beni mengatakan...
21 Desember 2008 pukul 15.59  

dah pernah ke toraja blom broo?? kalo belom nyessel lhoo.. heheheh

Chiko mengatakan...
21 Desember 2008 pukul 16.34  

woooo nekat bener

salut deehh...

jadi bonek nih..
aku belum se nekat itu

vachzar mengatakan...
21 Desember 2008 pukul 20.30  

Posting Komentar

Blogger Login Form

Please enter your username and password to enter your Blogger Dasboard page!