Fabiayyialaa irobbikumaa tukadzibaan

Jumat, 22 Mei 2009

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”


Ya Allah, sungguh mulia Engkau. Kau-lah yang menanamkan semua kesadaran itu. Kami lahir tak bisa melihat, Kau buat melihat. Kami lahir tuli, Kau buat mendengar. Kami lahir tak bergerak, Kau buat melangkah. Kami lahir tak mengerti, Kau tanamkan pengertian.

Maha Suci Engkau ya Allah, yang telah menciptakan perasaan. Maha Besar Engkau ya Allah, yang telah menciptakan ada dan tiada. Hidup ini adalah penghambaan. Tarian penghambaan yang sempurna. Tak ada pemilik dan milik selain Engkau. Tak punya dan mempunyai selain Engkau. Tetapi mengapa Kau harus menciptakan perasaan? Mengapa Engkau harus memasukkan bongkah yang disebut ”perasaan” itu kepada makhluk ciptaan-Mu? Perasaan kehilangan.... Perasaan memiliki.... Perasaan mencintai....

Kami tak melihat, Kau berikan mata; kami tak mendengar, Kau berikan telinga; kami tak bergerak, Kau berikan kaki; Kau berikan berpuluh-puluh nikmat lainnya. Jelas sekali, itu semua berguna! Tetapi mengapa Kau harus menciptakan bongkah itu? Mengapa Kau letakkan bongkah perasaan yang seringkali menjadi pengkhianat sejati dalam tubuh kami. Mengapa?

Tiga paragraf di atas saya kutip dari beberapa catatan kaki dalam novel karya Tere-liye berjudul ”Hafalan Shalat Delisa.” Suatu penggambaran kenyataan bahwa seringkali manusia lupa akan nikmat rasa (bahagia, aman, tentram, damai, dsb) yang dianugerahkan oleh Tuhan. Manusia terjebak pada sesuatu nikmat yang kasat mata, seperti: mata, tangan, kaki, dsb. Namun tak mudah untuk mensyukuri nikmat yang tidak dapat dilihat maupun disentuh. Otak manusia lebih mudah berlogika dengan berbagai anugrah yang terlihat, tetapi tidak mampu berhitung dengan cermat akan anugrah yang tak terlihat. Jikapun kita mampu mensyukuri rasa bahagia, tetapi rasa itu seringkali berasal dari manipulasi pikiran kita sendiri atas suatu pencapaian visible and tangible yang seolah-olah hasil usaha kita sendiri. Bahwa Tuhan menciptakan perasaan (hati) yang membuat kita bahagia terkadang tak mampu kita sadari sepenuhnya.

Mungkin karena kenikmatan duniawi ini telah membuat manusia khilaf sehingga mata batinnya buta. Seringkali kita berjam-jam lamanya bertelfon dengan kekasih hati dengan ”khidmat” seraya tersenyum seakan ia melihat kita. Namun sedetikpun kita seringkali tak mampu menghadirkan keagungan Sang Pencipta dalam sujud kita. Ironi memang, perasaan yang diciptakan Tuhan, justru tak mampu mendeteksi kehadiran penciptanya. Perasaan itu sendiri baru kita sadari keberadaannya ketika ada musibah yang sedang menimpa. Suatu rasa sedih yang digunakan manusia untuk ”menggugat” Tuhannya akan penderitaannya. Namun manusia kembali lupa ketika Tuhan menolongnya dari segala kesusahan dan menghadirkan bahagia. Perasaan, adalah salah satu nikmat Tuhan yang seringkali manusia dustakan.

Diposting oleh alhayat di 5/22/2009  

4 komentar:

nice post sobat,,, keep post sob...

ridwan171 mengatakan...
24 Mei 2009 pukul 14.55  

ayat favoritku...
daru surat favoritku...
Ar Rahman

Elsa mengatakan...
8 September 2009 pukul 16.05  

tulisan yang bermanfaat boss,,,

mampir balik ya ke blog gw!!!

RoBBy mengatakan...
30 Oktober 2009 pukul 23.29  

masya Allah...
tulisan yang sangat menghentak saya... (teringat buku favorit & hari berssejarah di hidup saya)
bolehkah saya sadur & link?
trims,
salam kenal

Anonim mengatakan...
17 Juni 2010 pukul 15.53  

Posting Komentar

Blogger Login Form

Please enter your username and password to enter your Blogger Dasboard page!