Membangitkan Imajinasi Mengembangkan Kreasi
Selasa, 31 Mei 2011
“Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited to all we now know and understand, while imagination embraces the entire world, and all there ever will be to know and understand.”
Albert Einstein
Teringat beberapa tahun yang lalu ketika blog ini mulai ditulis. Beragam ide imajiner dan parodi ingin dituangkan dalam tulisan yang lebih terstruktur sebagai bahan renungan diri dan sarana pembelajaran serta proses kreatif untuk memunculkan perpektif-perspektif baru dari suatu peristiwa. Namun demikian, pencarian dan pendalaman ide baru tidak mudah dilakukan. Selain kesibukan, ide yang muncul sering dianggap kurang layak (aah... alasan penulis saja untuk menutupi kemalasannya). Seperti halnya istilah CLBK yang nge-trend di kalangan anak muda (cie... cie...), rasanya keinginan dan gairah menulis kembali mekar setelah beberapa halaman membaca buku yang berjudul ”Whack” karya Roger Von Oech. Dalam buku itu disebutkan bahwa terdapat dua fase dalam pembentukan ide-ide baru, yaitu fase ”imajinatif” dan fase ”praktis”.
Dalam fase imajinatif, kita membangkitkan dan bermain dengan ide serta memanipulasi masalah. Pertanyaan yang diajukan seperti: Bagaimana seandainya? Bisakah kita meminjam metafora? Semboyan fase imajinatif adalah ”memikirkan hal yang berbeda”. Sementara dalam fase praktis, kita mengevaluasi ide, mempersempit ruang guna memperoleh solusi praktis, melakukan analisis berisiko, dan melaksanakan ide. Kita mengajukan pertanyaan seperti: Apakah ide ini ada gunanya? Apakah pemilihan waktunya sudah tepat? Siapa yang bisa membantu dan apa konsekuensinya bila sasaran tidak tercapai? Semboyan fase pratis adalah ”melakukan sesuatu”.
Kedua fase memainkan peranan penting dalam proses kreatif sebagaimana dianalogikan dengan proses ahli tembikar ketika sedang membuat sebuah pot bunga. Tanah liat akan jauh lebih mudah dibentuk dan diolah bila mempunyai kelenturan (manipulasi beragam bentuk). Setelah selesai dibentuk, pot bunga baru memiliki nilai praktis bila sudah dipanaskan di tempat pembakaran (eksekusi alternatif pilihan).
Dalam tulisan ini, saya ingin mengulas bagaimana cara melahirkan ide baru sebagaimana dikemukakan oleh Von Oech yaitu berfikir lunak (imajinatif). Untuk berpikir imajinatif, kita bisa menggunakan suatu metafora yaitu dengan menghubungkan sesuatu hal dengan hal lainnya dengan mencari kesamaan/padanannya. Sebagai contoh, ”kereta tanpa kuda” merupakan julukan kendaraan bermotor yang pertama kali diciptakan; ”kuda besi” sebagai sebutan lokomotif pertama; meja memiliki ”kaki”; dan kota memiliki ”jantung”. Metafora efektif untuk membuat ide-ide yang rumit menjadi lebih mudah dipahami.
Metafora juga berguna untuk membantu kita memperoleh pandangan berbeda tentang suatu masalah. Sebagai contoh, pada abad ke-17, William Henry tidak melihat jantung sebagai otot atau organ tubuh, melainkan sebagai ”pompa”. Hal ini membawanya pada penemuan tentang peredaran darah.
Makna Hidup
Untuk memancing dan melatih kreativitas, marilah kita ikut berlatih membuat metafora dengan pertanyaan ”apa makna kehidupan bagi Anda?”. Sebagai contoh, dalam bukunya, Von Oech menampilkan jawaban-jawaban metafora peserta seminarnya sebagai berikut:
Hidup ini bagaikan pisang. Anda mengawalinya dengan warna hijau dengan bertambahnya usia Anda berubah menjadi lembek dan mulai meracau. Ada orang yang ingin menjadi salah satu dari sisir pisang dan ada pula yang ingin menjadi pisang yang paling pinggir. Akhirnya, Anda harus mengupas kulitnya agar mencapai daging buahnya.
Hidup bagaikan memasak makanan. Semua tergantung pada apa yang Anda bubuhka dan cara Anda mencampurnya. Adakalanya Anda mengikuti resepnya dan terkadap Anda perlu menjadi kreatif.
Hidup bagaikan potongan puzzle, tetapi Anda tidak punya gambar di tutup kotaknya untuk tahu akan berbentuk apa gambar itu nantinya. Terkadang Anda bahkan tidak yakin apakah Anda sudah memiliki semua kepingnya.
Bagi saya, hidup itu bagaikan naik angkutan kota (angkot). Kita harus menentukan tujuan terlebih dahulu, sebelum memilih jenis dan jurusan angkot mana yang akan dipilih. Salah memilih angkot berakibat tidak sampai tujuan atau sampai terlambat karena harus banyak berganti angkot. Terkadang angkot yang kita naiki penuh sesak karena semuanya memiliki tujuan yang sama, terkadang sepi penumpang karena kita mengambil jalan (tujuan) berbeda dengan kebanyakan orang. Meskipun sudah merencanakan dengan seksama (tujuan dan pilihan), namun ditengah jalan masih ada hambatan berupa kemacetan, kecelakaan, galian pipa dan kabel sehingga perjalanan tidak mudah dan banyak lika-likunya. Namun, terdapat pula kemurahan hati penumpang lain yang menawarkan tempat duduk, memberitahu kapan untuk turun (tempat yang dituju) yang mengibaratkan bahwa banyak teman baik yang dikenal atau tidak dikenal menawarkan bantuan di tengah perjalanan hidup kita.
Menurut Anda Seperti Apakah Kehidupan Itu?
Keinginan adalah Sumber Penderitaan
Minggu, 08 November 2009
”Tujuan bukan utama, yang utama adalah prosesnya ...... Ingin bahagia derita didapat
karena ingin sumber derita.” (Iwan Fals: Seperti Matahari)
Suatu sore, ketika diri masih terbuai mimpi, seorang teman menelpon menanyakan mengapa blog ini tidak “dirawat” lagi. Suatu pertanyaan yang sepertinya tidak bosan-bosannya ia tanyakan, atau mungkin pembaca yang lain juga merindukan tulisanku (he he he, sok punya penggemar). Ternyata, menulis bukan suatu hal yang mudah. Meski banyak peristiwa, gasasan, opini dan rasa yang tertinggal di hati, namun tetap saja tak mudah untuk dituangkan dalam bentuk tulisan.
Ketika dulu ku mulai blog ini, saya berharap akan kecanduan untuk terus menulis. Ibarat bermain games komputer, kalau belum game over atau mencapai level tertinggi, rasanya belum mau/bisa berhenti. Ternyata eh ternyata, semua tak sesuai rencana. Godaan demi godaan selalu saja muncul yang membuat blog ini tersisih dalam duniaku. Salah satunya, Facebook (FB) mengalihkan dunia tulisku. Pokok gagasan, ide, pendapat, dan perasaan lebih mudah ditulis dalam kalimat pendek (update status FB) daripada dikembangkan dalam bentuk tulisan panjang yang penuh deskripsi, narasi, maupun argumentasi.
Persoalan utama terbengkalainya blog ini kemungkinan adalah lemahnya “iman” penulis sendiri. Keinginan/mood untuk menulis tidak stabil dan selalu naik-turun seperti gelombang laut. Ada kalanya perasaan menggebu-gebu untuk menulis (Aku menulis, maka aku ada). Ada kalanya juga tidak berkeinginan sama sekali untuk menulis (sudah terlalu letih dengan rutinitas, menulisnya nanti saja kalau sudah mendapat wangsit/ilham). Antusiasme untuk menulis terkadang juga dipengaruhi oleh jumlah komentar/tanggapan terhadap tulisan maupun jumlah pengunjung blog. Harap dimaklumi, penulis adalah manusia biasa. Niat menulis sebagai penyaluran gagasan dan informasi nyatanya tidak selalu lurus.
Atau mungkin benar juga kata seorang teman bahwa menulis akan lebih baik (paling tidak, gagasan dapat dituangkan dalam bentuk tulisan) ketika seorang penulis berada pada kondisi tidak nyaman. Tengoklah nama besar seperti Pramodya Anantatoer (alm.) dan Arswendo Atmowiloto yang produktif menulis dibalik jeruji besi. Mungkin tak usah jauh-jauh mencari contoh, seperti halnya kita yang somehow bisa menyelesaikan skripsi/tesis ketika masa kuliah segera berakhir. Dalam pernyataan teman tersebut, terkandung makna ganda. Pertama, prasangka baik kepada penulis bahwa sekarang kondisinya semakin baik/nyaman (Alhamdulillah). Kedua, kenyamanan tersebut yang membuat penulis terlena untuk berhenti berkarya.
Semua alasan di atas rasanya hanyalah upaya pembenaran mengapa penulis sudah jarang lagi menulis dan merawat blog ini. Tetapi sungguh, keinginan untuk tetap menulis itu selalu ada dan terkadang menimbulkan penderitaan berganda bila tidak terwujud. Meminjam kata-kata Iwan Fals: keinginan adalah sumber penderitaan.
Semoga tulisan ini menjadi pengingat dan dorongan untuk menulis kembali. Jayalah selalu blogger Indonesia dan tetaplah berkarya :D
PS: Terima kasih kepada seorang teman yang masih meluangkan waktu untuk mengingatkanku yang pemalas ini untuk terus menulis dan melanjutkan blog yang lama terhenti.
Selengkapnya...
Fabiayyialaa irobbikumaa tukadzibaan
Jumat, 22 Mei 2009
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Ya Allah, sungguh mulia Engkau. Kau-lah yang menanamkan semua kesadaran itu. Kami lahir tak bisa melihat, Kau buat melihat. Kami lahir tuli, Kau buat mendengar. Kami lahir tak bergerak, Kau buat melangkah. Kami lahir tak mengerti, Kau tanamkan pengertian.
Maha Suci Engkau ya Allah, yang telah menciptakan perasaan. Maha Besar Engkau ya Allah, yang telah menciptakan ada dan tiada. Hidup ini adalah penghambaan. Tarian penghambaan yang sempurna. Tak ada pemilik dan milik selain Engkau. Tak punya dan mempunyai selain Engkau. Tetapi mengapa Kau harus menciptakan perasaan? Mengapa Engkau harus memasukkan bongkah yang disebut ”perasaan” itu kepada makhluk ciptaan-Mu? Perasaan kehilangan.... Perasaan memiliki.... Perasaan mencintai....
Kami tak melihat, Kau berikan mata; kami tak mendengar, Kau berikan telinga; kami tak bergerak, Kau berikan kaki; Kau berikan berpuluh-puluh nikmat lainnya. Jelas sekali, itu semua berguna! Tetapi mengapa Kau harus menciptakan bongkah itu? Mengapa Kau letakkan bongkah perasaan yang seringkali menjadi pengkhianat sejati dalam tubuh kami. Mengapa?
Tiga paragraf di atas saya kutip dari beberapa catatan kaki dalam novel karya Tere-liye berjudul ”Hafalan Shalat Delisa.” Suatu penggambaran kenyataan bahwa seringkali manusia lupa akan nikmat rasa (bahagia, aman, tentram, damai, dsb) yang dianugerahkan oleh Tuhan. Manusia terjebak pada sesuatu nikmat yang kasat mata, seperti: mata, tangan, kaki, dsb. Namun tak mudah untuk mensyukuri nikmat yang tidak dapat dilihat maupun disentuh. Otak manusia lebih mudah berlogika dengan berbagai anugrah yang terlihat, tetapi tidak mampu berhitung dengan cermat akan anugrah yang tak terlihat. Jikapun kita mampu mensyukuri rasa bahagia, tetapi rasa itu seringkali berasal dari manipulasi pikiran kita sendiri atas suatu pencapaian visible and tangible yang seolah-olah hasil usaha kita sendiri. Bahwa Tuhan menciptakan perasaan (hati) yang membuat kita bahagia terkadang tak mampu kita sadari sepenuhnya.
Mungkin karena kenikmatan duniawi ini telah membuat manusia khilaf sehingga mata batinnya buta. Seringkali kita berjam-jam lamanya bertelfon dengan kekasih hati dengan ”khidmat” seraya tersenyum seakan ia melihat kita. Namun sedetikpun kita seringkali tak mampu menghadirkan keagungan Sang Pencipta dalam sujud kita. Ironi memang, perasaan yang diciptakan Tuhan, justru tak mampu mendeteksi kehadiran penciptanya. Perasaan itu sendiri baru kita sadari keberadaannya ketika ada musibah yang sedang menimpa. Suatu rasa sedih yang digunakan manusia untuk ”menggugat” Tuhannya akan penderitaannya. Namun manusia kembali lupa ketika Tuhan menolongnya dari segala kesusahan dan menghadirkan bahagia. Perasaan, adalah salah satu nikmat Tuhan yang seringkali manusia dustakan.
Pemilu yang Memilukan
Jumat, 17 April 2009
"Tak selamanya, mendung itu kelabu"
Terus terang, saya tidak antusias dengan pemilu legislatif pada 9 April 2009 lalu. Dengan adanya penguatan peran DPR semenjak reformasi, orang-orang yang duduk di lembaga legislatif cenderung menjadi gila hormat. Merasa sok kuasa hingga memanggil orang (pejabat pemerintah) semaunya. Merasa sok pinter hingga direktur suatu BUMN dianggap anak TK. Merasa sok penting hingga semua fasilitas kerja diminta dan minta naik gaji pula. Telah banyak terungkap bahwa anggota dewan yang terhormat justru menjadi tukang tipu, tukang koruptor, tukang selingkuh, dan tukang tidur. Rasanya ada yang salah dengan sistem (ataukah personel???) di legislatif; orang yang diberi amanat justru berkhianat.
Beberapa fakta buruk anggota parlemen sedikit banyaknya telah menyurutkan keinginan untuk berpartisipasi dalam pemilu legislatif. Namun, untuk pemilihan presiden sangat sayang untuk dilewatkan. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden merupakan icon suatu negara; sebut saja Barack Obama, Ahmad Dinejad, Kim Yong-ill, Soekarno. Nama presiden dapat menunjukkan suatu ketegasan sikap kepemimpinan, kebijakan ekonomi politik, kondisi sosial-ekonomi masyarakat, atau periode zaman tertentu.
Pelaksanaan pemilu kemarin nyaris membuatku kehilangan hak suara. Betapa tidak, nama saya tidak tercantum dalam DPT. Sudah dimasukkan sebagai pemilih susulan untuk perbaikan DPT, namun kepastian tercantum dalam DPT tidak jelas. Pada waktu itu, rasanya sedih seperti tidak dianggap sebagai warga negara, padahal saya rajin bayar pajak (pajak restoran, pajak hiburan, pajak hotel, pajak kendaraan bermotor). Mungkin begitulah nasibnya jadi anak rantau; tidak lagi dianggap penduduk meski ber-KTP. Seakan ada skenario untuk memperbesar jumlah golput secara sistemis dan terencana. Selain itu, ada joke bahwa pemilu dibentuk dari kata dasar pilu (pe + pilu = pemilu), seperti asal kata pemukul (pe + pukul). Jadi kalau tidak ada kisah pilu, itu namanya bukan pemilu.
Hingga kabar baik tercantumnya nama dalam DPT datang beberapa hari menjelang pemilu. Untungnya jarak Jakarta-Jogja tidak terlalu jauh, sehingga bisa pulang kampung meski tak direncanakan sebelumnya dan harus berdesak-desakan duduk di lorong kereta. Hitung-hitung sauna murah meriah skaligus baik untuk menjaga tetap langsing dan bugar. Setibanya di tujuan, saya langsung menuju TPS meski dengan wajah yang masih kuyu, badan pegal-pegal, dan belum mandi. ”Demi Ibu Pertiwi,” kataku berbohong. Sewaktu melihat DPT yang tertempel di TPS, saya sungguh terkejut. Nama dan tanggal lahir benar, tapi umur salah (10 tahun lebih tua), jenis kelamin salah (padahal masih pria tulen, belum pernah operasi sesar), status pernikahan salah (belum pernah mencatatkan diri di KUA). ”Uh..... KPU kerjaannya ngapin aj ya, padahal anggarannya besar?” gerutuku saat itu.
Pelaksanaan pemilu 2009 memang lebih buruk dari pemilu sebelumnya. Tapi tak apalah, yang penting masih bisa milih, terutama untuk pilihan Presiden Indonesia mendatang. Masih banyak orang-orang yang kehilangan hak pilihnya sistem pemilu sekarang dan tak kalah banyak jumlahnya orang yang tidak memenuhi syarat menjadi pemilih justru terdaftar dalam DPT. Semoga ada pendataan ulang/pemutakhiran untuk DPT pada pemilu presiden mendatang. Sekalian di data siapa yang ingin golput sehingga kertas suara tidak mubazir. Penghematan ongkos cetak bisa digunakan untuk insentif anggota KPPS di daerah-daerah terpencil. . . . . Semoga Indonesia lekas sembuh.
Beberapa fakta buruk anggota parlemen sedikit banyaknya telah menyurutkan keinginan untuk berpartisipasi dalam pemilu legislatif. Namun, untuk pemilihan presiden sangat sayang untuk dilewatkan. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden merupakan icon suatu negara; sebut saja Barack Obama, Ahmad Dinejad, Kim Yong-ill, Soekarno. Nama presiden dapat menunjukkan suatu ketegasan sikap kepemimpinan, kebijakan ekonomi politik, kondisi sosial-ekonomi masyarakat, atau periode zaman tertentu.
Pelaksanaan pemilu kemarin nyaris membuatku kehilangan hak suara. Betapa tidak, nama saya tidak tercantum dalam DPT. Sudah dimasukkan sebagai pemilih susulan untuk perbaikan DPT, namun kepastian tercantum dalam DPT tidak jelas. Pada waktu itu, rasanya sedih seperti tidak dianggap sebagai warga negara, padahal saya rajin bayar pajak (pajak restoran, pajak hiburan, pajak hotel, pajak kendaraan bermotor). Mungkin begitulah nasibnya jadi anak rantau; tidak lagi dianggap penduduk meski ber-KTP. Seakan ada skenario untuk memperbesar jumlah golput secara sistemis dan terencana. Selain itu, ada joke bahwa pemilu dibentuk dari kata dasar pilu (pe + pilu = pemilu), seperti asal kata pemukul (pe + pukul). Jadi kalau tidak ada kisah pilu, itu namanya bukan pemilu.
Hingga kabar baik tercantumnya nama dalam DPT datang beberapa hari menjelang pemilu. Untungnya jarak Jakarta-Jogja tidak terlalu jauh, sehingga bisa pulang kampung meski tak direncanakan sebelumnya dan harus berdesak-desakan duduk di lorong kereta. Hitung-hitung sauna murah meriah skaligus baik untuk menjaga tetap langsing dan bugar. Setibanya di tujuan, saya langsung menuju TPS meski dengan wajah yang masih kuyu, badan pegal-pegal, dan belum mandi. ”Demi Ibu Pertiwi,” kataku berbohong. Sewaktu melihat DPT yang tertempel di TPS, saya sungguh terkejut. Nama dan tanggal lahir benar, tapi umur salah (10 tahun lebih tua), jenis kelamin salah (padahal masih pria tulen, belum pernah operasi sesar), status pernikahan salah (belum pernah mencatatkan diri di KUA). ”Uh..... KPU kerjaannya ngapin aj ya, padahal anggarannya besar?” gerutuku saat itu.
Pelaksanaan pemilu 2009 memang lebih buruk dari pemilu sebelumnya. Tapi tak apalah, yang penting masih bisa milih, terutama untuk pilihan Presiden Indonesia mendatang. Masih banyak orang-orang yang kehilangan hak pilihnya sistem pemilu sekarang dan tak kalah banyak jumlahnya orang yang tidak memenuhi syarat menjadi pemilih justru terdaftar dalam DPT. Semoga ada pendataan ulang/pemutakhiran untuk DPT pada pemilu presiden mendatang. Sekalian di data siapa yang ingin golput sehingga kertas suara tidak mubazir. Penghematan ongkos cetak bisa digunakan untuk insentif anggota KPPS di daerah-daerah terpencil. . . . . Semoga Indonesia lekas sembuh.
Langganan:
Postingan (Atom)
Blogger Login Form
Please enter your username and password to enter your Blogger Dasboard page!