Pemilu yang Memilukan

Jumat, 17 April 2009

"Tak selamanya, mendung itu kelabu"


Terus terang, saya tidak antusias dengan pemilu legislatif pada 9 April 2009 lalu. Dengan adanya penguatan peran DPR semenjak reformasi, orang-orang yang duduk di lembaga legislatif cenderung menjadi gila hormat. Merasa sok kuasa hingga memanggil orang (pejabat pemerintah) semaunya. Merasa sok pinter hingga direktur suatu BUMN dianggap anak TK. Merasa sok penting hingga semua fasilitas kerja diminta dan minta naik gaji pula. Telah banyak terungkap bahwa anggota dewan yang terhormat justru menjadi tukang tipu, tukang koruptor, tukang selingkuh, dan tukang tidur. Rasanya ada yang salah dengan sistem (ataukah personel???) di legislatif; orang yang diberi amanat justru berkhianat.

Beberapa fakta buruk anggota parlemen sedikit banyaknya telah menyurutkan keinginan untuk berpartisipasi dalam pemilu legislatif. Namun, untuk pemilihan presiden sangat sayang untuk dilewatkan. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden merupakan icon suatu negara; sebut saja Barack Obama, Ahmad Dinejad, Kim Yong-ill, Soekarno. Nama presiden dapat menunjukkan suatu ketegasan sikap kepemimpinan, kebijakan ekonomi politik, kondisi sosial-ekonomi masyarakat, atau periode zaman tertentu.

Pelaksanaan pemilu kemarin nyaris membuatku kehilangan hak suara. Betapa tidak, nama saya tidak tercantum dalam DPT. Sudah dimasukkan sebagai pemilih susulan untuk perbaikan DPT, namun kepastian tercantum dalam DPT tidak jelas. Pada waktu itu, rasanya sedih seperti tidak dianggap sebagai warga negara, padahal saya rajin bayar pajak (pajak restoran, pajak hiburan, pajak hotel, pajak kendaraan bermotor). Mungkin begitulah nasibnya jadi anak rantau; tidak lagi dianggap penduduk meski ber-KTP. Seakan ada skenario untuk memperbesar jumlah golput secara sistemis dan terencana. Selain itu, ada joke bahwa pemilu dibentuk dari kata dasar pilu (pe + pilu = pemilu), seperti asal kata pemukul (pe + pukul). Jadi kalau tidak ada kisah pilu, itu namanya bukan pemilu.

Hingga kabar baik tercantumnya nama dalam DPT datang beberapa hari menjelang pemilu. Untungnya jarak Jakarta-Jogja tidak terlalu jauh, sehingga bisa pulang kampung meski tak direncanakan sebelumnya dan harus berdesak-desakan duduk di lorong kereta. Hitung-hitung sauna murah meriah skaligus baik untuk menjaga tetap langsing dan bugar. Setibanya di tujuan, saya langsung menuju TPS meski dengan wajah yang masih kuyu, badan pegal-pegal, dan belum mandi. ”Demi Ibu Pertiwi,” kataku berbohong. Sewaktu melihat DPT yang tertempel di TPS, saya sungguh terkejut. Nama dan tanggal lahir benar, tapi umur salah (10 tahun lebih tua), jenis kelamin salah (padahal masih pria tulen, belum pernah operasi sesar), status pernikahan salah (belum pernah mencatatkan diri di KUA). ”Uh..... KPU kerjaannya ngapin aj ya, padahal anggarannya besar?” gerutuku saat itu.

Pelaksanaan pemilu 2009 memang lebih buruk dari pemilu sebelumnya. Tapi tak apalah, yang penting masih bisa milih, terutama untuk pilihan Presiden Indonesia mendatang. Masih banyak orang-orang yang kehilangan hak pilihnya sistem pemilu sekarang dan tak kalah banyak jumlahnya orang yang tidak memenuhi syarat menjadi pemilih justru terdaftar dalam DPT. Semoga ada pendataan ulang/pemutakhiran untuk DPT pada pemilu presiden mendatang. Sekalian di data siapa yang ingin golput sehingga kertas suara tidak mubazir. Penghematan ongkos cetak bisa digunakan untuk insentif anggota KPPS di daerah-daerah terpencil. . . . . Semoga Indonesia lekas sembuh.


Selengkapnya...

Diposting oleh alhayat di 4/17/2009 5 komentar  

Blogger Login Form

Please enter your username and password to enter your Blogger Dasboard page!