A Journey to Aceh: Snapshot Picture

Minggu, 28 Desember 2008

“masa lalu adalah sejarah, masa sekarang adalah kenyataan, masa depan adalah harapan dan impian”


Gambar di samping saya ambil di Kab Kuta Raja, Banda Aceh. Rumah adat Aceh seperti itu jarang ditemui di ibu kota Banda Aceh atau kota lain yang tersapu Tsunami. Telah banyak rumah-rumah beton dengan arsitektur modern minimalis. Khusus di pinggir-pinggir jalan besar/utama, kini telah menjamur ruko-ruko (rumah toko) mewah. Setelah rekonstruksi, tak terlihat kalau lima tahun yang lalu, Banda Aceh terkena Tsunami yang cukup parah. Bangunan-bangunan telah berdiri kokoh dan megah, jalan-jalan mulus, aktivitas perdagangan dan keseharian kembli normal serta tak lagi telihat puing-puing berserakan.

Bahkan lokasi di sekitar Kapal Apung PLN yang terdampar jauh ke daratan, kini menjadi taman peringatan tsunami yang telah tertata indah dan asri. Di salah satu sudut taman ini, terpampang foto-foto Aceh ketika dilanda Tsunami. Kabarnya, kapal tersebut tidak ditempatkan kembali seperti semula karena biaya untuk metarik/ memindahkannya ke laut sama dengan harga kapal itu sendiri.



Angkutan umum yg khas di Aceh adalah becak bermotor (bentor). Sepeda motor roda dua dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat memuat penumpang dimana bangu penumpang diberi atap.



Suksesnya pembangunan Aceh pasca tsunami tak terlepas dari peran Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) yg pada bulan April 2009 nanti akan selesai beroperasi. Kata seorang staf BRR, dahulu markas BRR seperti pasar malam yg banyak dikunjungi masyarakat terkait bantuan pembanguan rumah cuma-cuma. Kini seiring masa operasi BRR yg hampir habis, kondisinya sangat sepi dan kantinnya hanya tersisa satu warung ansi saja. Markas BRR terletak di lingkungan kantor Dinas PU Provinsi dimana bangunannya merupakan sumbangan dari negara China.

Night Live

Dahulu bayangan saya, suasana malam di Aceh begitu wingit (sakral), lengang dan sepi, diberlakukan jam malam, susah keluar malam, anak-anak belajar ngaji di rumah, … pokoknya mirip kota santri mengingat Aceh menerapkan Perda Syariah. Namun tampaknya semua dugaanku ga ada yg sesuai, suasana kehidupan malam di Aceh tak jauh dari suasana di kota-kota besar di Indonesia lainnya. Aceh bukanlah kota mati, aktivitas perdagangan (restoran, toko kelontong, kios elektonik, pasar, dsb) masih aktif dan semakin bergairah meskipun hari telah larut. Lebih lagi di warung kopi, tempat pemuda-pemudi atau orang dewasa lainnya pada kumpul-kumpul. Istilah populer bagi mereka adalah “ngupi-ngupi”, mengkin karena kopi sebagai teman ngobrol yg utama.

Semakin malam, aroma “kebebasan” mulai terasa menyengat. Bukan hanya remaja-remaja putra, tetapi remaja-remaja putri juga ngupi-ngupi hingga larut malam. Seakan menyiratkaan itulah makna ’emansipasi wanita’ dan persamaan hak. Bahkan tak sedikit para wanita menghisap rokok. Dan yang semakin membuat miris, SPG rokok juga wanita-wanita cantik berbalut jilbab. Bener-bener ga masuk di akal saya. Bagaimana bisa daerah yg menerapkan Perda Syariah, namun pengaturannya masih sebatas atribut belum sampai ke tingkat perilaku. Kalau di Jakarta mungkin hal tersebut wajar adanya karena heterogenitas budaya yg lebih condong ke barat-baratan (liberal dan hedonis). Inikah pengaruh donor-donor negara asing yang dengan dalih membantu rekonstruksi Aceh pasca bencana Tsunami, tetapi menyusupkan nilai-nilai barat yang dekonstruktif bagi budaya ketimuran? Atau segala kejanggalan di hatiku ini disebabkan pradigma ”konvensional” yang melekat padaku dan bisa jadi berbeda dengan pandangan para pembaca semua?

Tetapi satu hal yg mesti diperhatikan adalah bahwa cuplikan-cuplikan peristiwa yang kusampaikan dalam artikel ini belum cukup untuk menggambarkan Aceh yang seutuhnya. Ini hanyalah potret sesaat dari kameraku yg bisa jadi berbeda dengan wajah Aceh beberapa tahun yg lalu atau yg akan datang, dan akan berbeda jika diambil dari sudut yang lain meskipun dalam waktu yg sama.

Selengkapnya...

A Journey to Aceh: The Nekat Traveler

Rabu, 17 Desember 2008

“Kalau ingin rencanmu tidak mengalami kegagalan, janganlah merencanakan sesuatu”

Setelah sekian lama berharap, akhirnya pada awal Desember kemarin bisa kesampaian juga berkunjung ke Aceh. Dengan demikian, impian untuk keliling nusantara tinggal satu pulau lagi yaitu Kalimantan. Pulau-pulau lain seperti Bali, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi, Ambon, serta Ternate sudah pernah kudatangi, lebih-lebih pulau Jawa yang selama ini ku tinggali. Bagiku, menjejakkan kaki pertama di daerah baru rasanya sudah sama dasyatnya seperti Niel Amstrong yang mendarat pertama kali di bulan atau seperti Colombus yang menemukan pertama benua Amerika…. bener-bener “mak nyusss” di hati. Apalagi pertama kali naik Garuda, meskipun bukan kelas bisnis tapi lebih uenak dan nyaman dibandingkan biasanya yang naik Lion Air, Adam Air (alm.), maupun Merpati Air.

Kunjungan ke Aceh kali ini sebenarnya terancam pupus karena kesulitan koresponden lokal sehingga jadwal perjalanan “dinas” harus ditangguhkan. Namun tiba-tiba sehari sebelum keberangkatan, ada pemberitahuan, “besok akan ke Aceh, kalau mau ikut kamu cari tiket sendiri nanti di-reimburse”. Singkat kata, akhirnya dapat tiket PP meskipun ga ngerti seluk beluk Aceh dan nanti mau ngapain. Yang ada dibenakku saat itu “yang penting bisa ke Aceh, urusan lain-lain bagaimana nanti”. Meminjam istilah dari seorang blogger dengan nick Trinity: the naked traveler. Perjalanan buta, dengan persiapan seadanya. Lebih tepatnya adalah NEKAT TRAVELER, mirip suporter Persebaya Surabaya yang dikenal sebagai Bonek (bondho nekat).

Saking tak inginnya keberangkatan ke Aceh gagal, aku naik taxi ke bandara Soekarno-Hatta dan tiba jam 7.30, meskipun keberangkatan ke Aceh baru jam 9.30. Lebih baik nunggu di bandara, daripada terjebak macet, maklum Jakarta gitu loh. Penerbangan Jakarta – Banda Aceh tidak langsung, tetapi transit dulu di Medan. Sama seperti masuk bandara, masuk ruang transit juga harus melewati metal detektor. Pada waktu pemeriksaan di Polinia Medan, gunting lipat saya ”terdeteksi” oleh petugas bandara dan diminta untuk dikeluarkan dari tas dan ditinggal (benda tajam tidak boleh masuk kabin pesawat). Padahal waktu di Soekarno-Hatta, pemeriksaan yang sama tidak bermasalah. Saya ga ngerti, sebenarnya bandara yang internasional itu yang mana? Seharusnya bandara Soekarno-Hatta tidak kecolongan dengan ”ulah nakal” saya yang sengaja membawa gunting ke kabin meskipun dalam keadaan terlipat.

Seteleh ”insiden” bandara terlewati, akhirnya jam dua siang, pesawat GA 142 yang kunaiki mendarat juga di Banda Aceh yang disambut dengan gerimis, seakan menggambarkan haru biru hatiku yang diberikan kesempatan oleh Allah untuk melihat dengan dekat Aceh, kota yang mendapat titel Serambi Mekah, kota yang ”terluka” akibat konflik kepentingan berkepanjangan, kota yang penduduknya diuji dengan gelombang pasang Tsunami.

Bagaimana kondisi Aceh saat ini? Hal-hal apa yang menarik dan memperihatinkan? Pelajaran apa yang bisa dipetik hikmahnya? Nantikan jawabannya pada postingan selanjutnya.


Selengkapnya...

Diposting oleh alhayat di 12/17/2008 6 komentar  

Kita Bukan Saudara Sependeritaan

Senin, 15 Desember 2008

“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”

Pengamen jalanan dengan berbagai modus operandinya merupakan pemandangan lumrah di angkutan-nagkutan umum ibu kota dan sekitarnya. Pernah saya menemui pengamen dengan suara pas-pasan tapi pede bernyanyi lagu pop sambil memetik gitar, ada yang melantunkan sholawat diiringi ketipung, ada yang membacakan puisi ataupun deklamasi, ada yang mengedarkan amplop yang ditujukan untuk sumbangan pembangunan tempat ibadah, membiayai rumah yatim piatu, atau hanya bertuliskan “untuk makan sehari-hari” (maklum yang mengedarkannya seorang tuna rungu sekaligus tuna wicara). Ada pula yang ga ngapa-ngapain, langsung minta kepada penumpang.

Untuk versi yang terakhir, ada beberapa hal yang menurut saya menarik untuk dikritisi. Pertama, pelaku umumnya pemuda seorang diri, berumur antara 20-30 th, sehat jasmani. Kedua, sebelum “menodongkan” tangan kepada penunpang, biasanya didahului dengan orasi. Umumnya orasinya kurang lebih seperti ini: 
“Mohon maaf Bapak/Ibu telah menggangu perjalanan Anda. Sebenarnya saya juga malu harus meminta-minta seperti ini, tapi terpaksa saya lakukan karena pengangguran. Kalau saya memiliki pekerjaan seperti Bapak/Ibu semua, pasti saya tidak meminta-minta di sini. Perbuatan meminta-minta masih lebih baik untuk dilakukan daripada saya harus mencuri, merampok, menjambret, atau melakukan tindakan kriminal lainya. Kita adalah saudara sebangsa dan setanah air, tetapi pastinya kita bukan saudara sependeritaan. Meskipun hanya uang recehan, pemberian Anda sangat berarti bagi kami. Keikhlasan Anda adalah rizki bagi kami. Semoga pemberian Anda dicatat sebagai amal jariyah dan semoga perjalanan Anda selamat sampai tujuan.” (Btw, kapan-kapan pengin saya rekam kalau ketemu lagi yang begituan biar ga salah kutip).

Terkadang saya miris dengan ulah mereka. Betapa tidak, mereka rata-rata pemuda yang tenaganya masih kuat kalau memang bener-bener niat bekerja. Bekerja bisa apa saja asalkan halal, misalnya pekerja bangunan, tukang kebun, asongan, office boy, dll. Kalau mereka menginginkan bekerja seperti penumpang bus kota yang umumnya pegawai kantoran, itu namanya pungguk merindukan bulan. Bukannya tidak mungkin, tetapi mereka bermimpi terlalu jauh dan kurang ”bercermin”. Pekerjaan harus disesuaikan dengan kondisi riil masing-masing individu.

Memang benar bahwa meminta/mengemis lebih baik dari pada melakukan tindakan kejahatan, tetapi membandingkan keduanya dalam satu kalimat seolah-olah memaksa logika kita untuk berfikir bahwa meminta adalah perbuatan terbaik. Secara tak sadar, kita sebenarnya dipaksa untuk memberi melalui manipulasi verbal tersebut. Selain itu, penggunaan perbandingan tersebut, tersirat bahwa pelaku sebenarnya telah putus asa sehingga menjadi cenderung malas bekerja dan hanya meminta-minta.

Yang lebih memperihatinkan lagi, terkadang perbuatan tersebut (meminta/mengemis/mengamen) dilakukan dalam keadaan mabuk. Tutur katanya amburadul, intonasinya cepat tapi ngelantur ga jelas, bahkan bau ”naga” tercium menyengat. Meskipun isi orasinya baik, tapi kalau dilakukan dengan mabuk, pesan yang tertangkap adalah bahwa hasil mengamen digunakan untuk mabuk-mabukan atau tindakan ga baik lainya (mis. judi).

Meskipun demikian, saya kembalikan pemaknaan di atas kepada rekan-rekan semua. Ini hanyalah ungkapan dari pikiran yang kalut di tengah gemerisik hingar bingar ibu kota yang semrawut. Mungkin, inilah ujian keikhlasan dan kesalehan sosial bagi kita bila memang ingin berbagi terhadap sesama, bisa kepada siapa saja, di mana saja, kapan saja, berapa pun jumlah pemberiannya.

Selengkapnya...

Diposting oleh alhayat di 12/15/2008 1 komentar  

Ownership Society

“Rumahku Istanaku”

Ownership Society merupakan visi yang dikemukakan Presiden AS Goerge W. Bush ketika mengajukan diri kembali dalam pemilu tahun 2004. Dalam konsep tersebut, kemakmuran warga negara dihubungkan dengan kepemilikan properti maupun saham. Untuk mencapai visi tersebut, Bush mendorong kebijakan kepemilikan rumah misalnya melalui “zero-down-payment initiative”, yaitu program pemerintah yang mengizinkan masyarakat untuk memiliki rumah tanpa uang muka.

Lebih lanjut, program tersebut dibuat semakin menarik dengan tidak perlukannya pembayaran cicilan untuk 24 bulan atau tanpa persyaratan administratif yang lengkap. Dengan dalih inovasi finansial, dibuatlah produk turunan dari program tersebut serta diturunkan lagi menjadi produk-produk finansial lainnya yang diperjualbelikan di pasar saham. Fungsi rumah bukan lagi sebagai hunian semata, namun telah beralih menjadi produk investasi yang dianggap prospektif secara ekonomi. Hal inilah yang dikemudian hari mengakibatkan krisis subprime mortgage yang kini berbuntut menjadi krisis finansial global.

Terlepas dari kesalahan kebijakan Bush yang ditempuh, visi tersebut menjadi produk yang menarik “dibeli” oleh masyarakat sehingga Bush menjabat lagi sebagai Presiden pada periode kedua. Menurut Shiller, warga Amerika telah lama percaya bahwa distribusi kepemilikan (properti) yang luas menghasilkan masyarakat yang lebih baik. Kepemilikan properti dan kemudian kepemilikan rumah menjadi semacam tujuan nasional (Americans dream). Masyarakat Amerika sudah beralih dari masyarakat feodal dimana orang yang tidak memiliki tanah dianggap/diperlakukan sebagai budak, menjadi konsep kepemilikan rumah yang dikaitkan dengan kelas sosial, orang yang memiliki rumah dianggap lebih baik dan lebih makmur.

Referensi
Karabell, Zachary. Awaking from the All-American Dream. Newsweek, 20 October 2008.
Shiller, Robert. The Ownership Myth. Newsweek, 20 October 2008.


Selengkapnya...

Kebersamaan itu Begitu Mengagumkan

Senin, 01 Desember 2008


“Jika ingin selalu berbau wangi, dekatilah penjual parfum”


Hati manusia itu sebenarnya sangat labil, kadang kuat penuh tekad dan semangat, namun tak jarang lemah dan mudah menyerah. Aktivitas yang telah kita niatkan dengan menggebu-gebu dan direncanakan dengan seksama, belum tentu dapat dilaksanakan pada waktunya. Penyakit malas itu agak susah obatnya, tapi bukan berarti tidak dapat diatasi. Penyakit malas bukanlah penyakit turunan.

Sebenernya sudah dari dulu aku pengen jogging minggu pagi untuk melenturkan otot-otot dan menjaga aliran darah tetap lancar serta jantung sehat. Berkali-kali keinginan hanya sebatas niat, tak pernah terealisasi. Berbagai skenario telah dirancang untuk mensukseskan misi, seperti pasang alarm, tidur tak terlalu larut malam. Namun setelah bangun tidur tetap saja berat melangkah, badan terasa lelah, mata berat sebelah... dasar payah. Hingga akhirnya terinspirasi istilah Mestakung (Semesta Alam Mendukung) yang dicetuskan oleh Yohanes Surya, pakar fisika Indonesia ternama.

Dalam hal ini mestakung saya maknai sebagai lingkungan yang kondusif (maaf Om Surya kalau mingkin salah mengartikan karena baca bukunya baru judulnya doank, ntar klo dah gajian aku beli bukunya… insyaallah). Metode ini cocok bagi hati/niat kita yang lagi lemah. Bila ingin mengerjakan sesuatu, ajaklah teman atau carilah kelompok/komunitas yang sesuai dengan keinginan yang ingin kamu kerjakan. Misalnya, pengin joging minggu pagi, ya datang ke Gelora Bung Karno, jangan ke Taman Lawang; pengin jadi anak sholeh, ya gaulnya sama anak-anak masjid, jangan sama preman; pengin lulus ujian, ya bikin kelompok belajar, jangan bikin kelompok tawuran, dsb.

Sungguh kebersamaan itu mengagumkan (red. Mestakung). Aku yakin kita pernah membuktikannya sendiri, tapi mungkin tanpa disadari. Ketika ku lari sendirian di lapangan bola yang sepi, satu putaran saja rasanya jantung mau copot. Ketika kemarin minggu di Gelora Bung Karno, ku bisa tahan jogging kurang lebih dua jam (termasuk jalan kaki, tengok kanan-kiri cari ”pemadangan indah”, berhenti sejenak ikut senam), total sekitar 8 putaran. Paling enak ketika lari dalam rombongan sehingga ga perlu lari zig-zag di sela-sela orang lain atau ga perlu ngerèm mendadak klo ada anak kecil nylonong lepas dari kawalan ortunya, dan bisa tiga putaran tanpa berhenti. Lelah dan cucuran keringat ga terasa, bahkan tidak terasa haus.

Begitu pula niatku untuk menulis artikel selalu kandas di tengah jalan. Dengan memiliki blog sendiri, aku berharap dapat mengkondisikan diri untuk tetap dan terus menulis, minilah nimbrung berkomentar di tulisan para blogger lainnya. Mari bersama-sama mengembangkan budaya menulis demi peradaban bangsa yang lebih baik. ”Bersama Kita Bisa? Yes We Can”.
Selengkapnya...

Diposting oleh alhayat di 12/01/2008 3 komentar  

Badai pun Bisa Bergoyang

Selasa, 18 November 2008


”kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda”

Salah satu artikel dalam Readers Digest Indonesia edisi November 2008 mengetengahkan judul Badai Bunga di Indonesia. Bayangan saya pertama menangkap judul tersebut adalah banyaknya bunga-bunga yang betebaran akibat badai, mengingat Indonesia memiliki ragam kekayaan flora yang luar biasa. Atau ekstrimnya, mungkin di tahun ini terjadi peningkatan angka pelecehan seksual (pemerkosaan) karena nama korban dalam kebanyakan media massa Indonesia biasanya disamarkan dengan nama bunga (sebut saja mawar 13 th dan bunga 17 th). Tapi ternyata, saya salah kaprah.

Dalam artikel tersebut diinformasikan bahwa setelah terbentuk badai pada April 2008, Indonesia, melalui Tropical Cyclone Warning Center (TCWC) Indonesia yang berpusat di Jakarta, berhak memberi nama badai khas Indonesia. Nama yang dipilih adalah nama-nama bunga, seperti anggrek, bakung, dan cempaka. Sebelum tahun ini, Indonesia belum boleh terlibat dalam penamaan badai karena tidak termasuk wilayah badai.

Dijelaskan pula bahwa penamaan badai bertujuan untuk memudahkan proses sosialisasi kepada masyarakat bahwa akan terjadi badai pada waktu dan di daerah tertentu. Penamaan badai di seluruh dunia diatur World Meteorological Organization yang didasarkan pada urutan kejadia per tahun. Badai pertama tiap tahun akan selalu diberi nama yang berawalan huruf A, yang kedua huruf B, demikian selanjutnya. Yang berhak memberi nama adalah wilayah tempat badai terbentuk.

Hi.. hi... hi... lucu kalau nanti dengar berita badai anggrek, badai kamboja, atau badai melati. Atau justru ngeri dan merinding kalau nanti bunga bangkai (raflesia arnoldi) juga dijadikan sebagai nama badai... Awas badai bangkai!!! 

Khusus untuk Indonesia, saya mengusulkan penamaan badai dengan nama penyanyi dangdut. Seperti kata Project Pop, dungdut is the music of my country. Terjemahan gaulnya: dangdut begitu Indonesia banget gitu loh! Kalau badainya diprediksi tidak terlalu kuat dan tidak menimbulkan kerusakan parah, pakai saja nama-nama pedangdut yang santun, misal badai Evi (Tamala), badai Ike (Nurjanah), atau badai Camelia (Malik). Terus untuk badai yang dahsyat, pakai nama pedangdut yang goyangannya asoy geboy dan sering membuat kontroversi, seperti badai Inul, badai (Trio) Macan, badai (Dewi) Persik. Untuk rajanya atau ratunya badai, gunakan nama badai Rhoma (Irama) atau badai Elvi (Sukaesih).

Menurutmu, penamaan badai yang sesuai/khas untuk Indonesia seperti apa? Ditunggu jawabannya dengan menuliskannya di kolom komentar. 
Selengkapnya...

Diposting oleh alhayat di 11/18/2008 0 komentar  

Cintamu Hanya Seceng

Kamis, 13 November 2008


"Tiada kata yg bisa kusampaikan selain maaf dan terima kasih, telah memberikan arti di hidupku yang sempit ini. Aku harus pergi bukan u/ meninggalkanmu, tapi hanya ingin terlepas darimu"

Kutipan di atas saya ambil dari puisi seseorang kepada kekasihnya di lembar uang seribu rupiah (seceng). Saya yakin, kalian juga sering menjumpai uang rupiah (uang kertas) dicorat-coret dengan tinta permanen, entah isinya puitis, makian, ato ucapan salam. Klo itu uang dollar, pasti tidak laku dan tidak bisa ditukarkan di money changer. Kelipat aj bank ga mau terima, apalagi dicorat-coret! Mungkin karena banyaknya kasus-kasus tersebut, Bank Indonesia pernah melakukan kampanye "pelestarian" uang rupiah dengan slogan 3D: Didapat, Disayang, Disimpan. Secara teknis, BI menghimbau agar uang jangan basah, jangan diremas, jangan dilipat, jangan distaples, dan jangan dicorat-coret (5 don't).

Sekarang, kembali ke masalah corat-coret uang kertas. Sepengetahuan saya selama ini, corat-coret dilakukan di lembaran uang dengan nominal kecil, misal seratus (warna merah), lima ratus (warna hijau), dan seribu (warna biru). Karena uang seratus dan lima ratus sudah tidak diterbitkan dalam bentuk uang kertas, corat-coret banyak dilakukan di uang seribu, kalau punya modal lumayan..... ya dilakukan di uang lima ribuan. Saya belum mendapati corat-coret di uang lima puluh ribu dan seratus ribu, paling-paling uangnya sudah kumal aja.

Seharusnya, kalau untuk membuktikan betapa bernilaianya cinta si penulis terhadap kekasihnya, ungkapan rasa dituangkan di lembaran uang kertas pecahan tertinggi. Kalau ditulis di lembaran seribu, kesan yang muncul adalah cintanya itu murahan. Apalagi klo ditulis di lembaran seribu dan lusuh; cintanya murahan dan usang.

***###***

Untuk para pengagumku:
Silakan tulis ungkapan perasaan hatimu padaku di lembaran seratus ribu rupiah sebanyak-banyaknya. Kemudian, berikanlah secara tulus ikhlas langsung kepadaku. Jikapun nanti tak bisa kuterima cintamu, akan kuterima dengan tulus uang pemberianmu. Terima kasih.


Selengkapnya...

Diposting oleh alhayat di 11/13/2008 2 komentar  

Bakrie-Kribo-Bokek

Selasa, 04 November 2008

               "The unexpected is the expected"


Judul di atas bukan direkayasa secara sengaja oleh penulis agar menghasilkan bunyi yang menarik ketika dilafalkan (ada kesamaan fonetik antara suku kata kedua pada kata pertama dengan suku kata pertama pada kata kedua, demikian pada kata kelanjutnya). Namun secara kebetulan, ketiga kata tersebut dapat dirangkai untuk menunjuk dan memaparkan suatu peristiwa aktual di bulan Oktober 2008. Mau tahu kisahnya? Klik kata ‘selengkapnya’ di bawah ini!

Silakan interpretasikan sendiri maknanya, saya hanya memberikan petunjuk terhadap ketiga kata tersebut.

1. Bakrie
Bakrie memiliki perusahaan keluarga di bawah Bakrie and Brothers yang sejak awal Oktober beberapa saham unggulannya disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia karena harga sahamnya anjlog begitu dalam. Diduga karena imbas dari krisis finansial global dan krisis likuiditas untuk membayar utang jangka pendek sebesar $1,2 miliar. Rumor yang beredar, salah satu punggawa keluarga Bakrie yang sedang menjabat Menko Kesra melobi Presiden SBY agar pemerintah membantu perusahaan dari risiko gagal bayar.

2. Kribo
Kribo, nama lengkapnya Sukribo, merupakan tokoh komikal yang dimuat di Kompas setiap hari minggu untuk mengkritisi perisiwa aktual di sekitar kita. Pada tanggal, 26 Oktober 2008 mengambil judul "numpang curang" 

3. Bokek
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, bokek berarti tidak punya uang.

Selengkapnya...

Diposting oleh alhayat di 11/04/2008 3 komentar  

Antara Sumpah Pemuda dan Sumpah Pocong

Kamis, 30 Oktober 2008

“Janganlah mudah berjanji sebab akan diminta untuk segera menepati. Berhati-hatilah karena mulutmu adalah harimaumu!”


Dari sudut padang ilmiah, saya tidak yakin kalau ada hubungan/korelasi yang signifikan, baik positif atau negatif, antara Sumpah Pemuda dan Sumpah Pocong. Namun dari sudut pandang imajiner saya, kedua hal tersebut dapat dipertautkan antara satu dengan yang lainnya (dasar penulisnya èmang ga punya kerjaan, jadi pikiranya mengada-ada).

Ketika kita (yang ngaku orang Indonesia tulen dan pernah belajar sejarah dengan benar) mendengar atau membaca kata Sumpah Pemuda, otak kita langsung me-recall sebuah peristiwa masa lalu pada tanggal 28 Oktober 1928. Delapan puluh tahun yang lalu Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi kepemudaan dari seluruh Indonesia, menyelenggarakan Kongres Pemuda untuk memperkuat semangat persatuan dalam lubuk sanubari para pemuda. Hasil kongres yang paling fenomenal dan heroik adalah tersusunnya rumusan Sumpah Setia (red. Sumpah Pemuda) yang diucapkan pada penutupan kongres, yang berbunyi:

PERTAMA;
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA, MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA.

KEDOEA;
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA.

KETIGA;
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA, MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA.

Oleh karena betapa dalamnya makna isi sumpah tersebut bagi persatuan dan kesatuan bangsa, pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 28 Oktober sebagai hari peringatan Sumpah Pemuda. Bulan Oktober bagi bangsa Indonesia menjadi bulan yang syarat makna.

Sekarang, coba berikan tanggapan (pikirkan) ketika kamu mendengar kata Sumpah Pocong!!! Mungkin kesan pertama yang dirasakan adalah ngeri dan merinding, atau sesuatu yang sangat sakral dan mistis. Hal tersebut dikarenakan prosesi pengucapan sumpah dilakukan dalam keadaan terbalut kain kafan seperti orang yang meningal dunia (pocong). Kemudian, angan kita akan melayang ke dimensi waktu yang forward looking. Karena tujuan sumpah ini untuk membuktikan suatu kebenaran tuduhan atau kasus, maka apabila keterangan atau janjinya tidak benar, yang bersumpah diyakini akan mendapat hukuman atau laknat dari Tuhan. Semua konsekuensi atas semua ucapan (sumpah) akan ditanggung sendiri di masa depan, bisa berupa cacat permanen atau hilangnya nyawa.

Yakin atau tidaknya kamu terhadap sumpah pocong, tergantung dari derajat keimanan dan pengalama serta pengetahuan yang kamu miliki. Saya cuma menyampaikan bahwa hal tersebut ada dalam tradisi lokal bangsa Indonesia yang masih kuat menerapkan norma-norma adat.

Namun sekarang, kiranya ruh Sumpah Pemuda yang dideklarasikan 80 tahun yang lalu telah memudar. Seiring makin tuanya bangsa Indonesia, semakin uzur kita mengingat arti pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa. Terlebih pasca reformasi, di mana daerah diberikan banyak kewenangan untuk mengelola daerahnya sendiri (red. desentralisasi). Sebenarnya, konsep desentralisasi sangat bagus karena akan mengakselerasi dan mengeskalasi partisipasi masyarakat dalam pembanguan. Namun karena banyak yang merasa pinter, jadinya malah pada keblinger. Kepala Daerah menganggap dirinya seperti Raja. Ibarat zaman kerajaan, Indonesia terdiri dari banyak raja-raja. Dengan alasan pernah dizalimi oleh pemerintah pusat, beberapa daerah ingin merdeka dan mendirikan negara sendiri.

Belum lagi yang memperihatinkan adalah tawuran antar mahasiswa. Pemuda yang dianggap paling intelek dan tinggi stratanya dalam status kependidikan, tidak berfikir panjang dan mementingkan ego pribadi dan kelompok. Payahnya, kalau sebab musabab tawuran adalah rebutan cewek (kalau masih pelajar SMA sih masih dimaklumi karena default-nya bersifat emosional). Wah, bener-bener gèblèg dunia pendidikan Indonesia. Mungkin, inilah yang diajarkan atau dicontohkan oleh para elit politik yang saling gontok-gontokan dan saling menyerang dengan menghalalkan segala cara demi kedudukan sesaat. Yang tua korup, yang muda mabuk. Memang benar; ”Buah apel, jatuh tak jauh dari pohonnya.”

Menurut pemikiran imajiner saya, solusi agar persatuan dan kesatuan bangsa tetap utuh di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah ”mengawinkan” Sumpah Pemuda dengan Sumpah Pocong (sangat amat tidak lazim sekali; jangan diikuti, cukup sebagai bahan renungan menjelang tidur). Setiap pemuda-pemudi yang telah akil baligh diwajibkan untuk mengucapkan Sumpah Pemuda (satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa) dengan prosesi seremoni ala Sumpah Pocong yang berkedudukan mengikat antara pengucap sumpah dengan Tuhannya. Dengan demikian, tidak akan ada lagi separatisme, pemberontakan, maupun perang antar sesama anak bangsa. Dengan catatan, negara bergerak dalam jalan yang lurus dan bukan jalan yang sesat serta aparat pemerintahannya merupakan orang-orang yang shaleh dan berakal sehat.

Cukup Tuhan yang menjadi saksi sekaligus hakim, karena Tuhan adalah saksi yang sejujur-jujurnya dan hakim yang seadil-adilnya. Di dunia, manusia dengan tipu daya dan muslihatnya dapat mengubah yang benar menjadi salah dan membalik yang salah menjadi benar karena berkeliarannya mafia peradilan. Namun di akhirat, mulut manusia terkunci dan anggota tubuhlah yang bicara, menjadi saksi kita yang meringankan atau justru memberatkan.

**####**

Semoga kita menjadi pemuda harapan pemudi, pemudi dambaan pemuda, dan pemuda-pemudi pembangun negeri. Untuk mengenang 80 tahun Sumpah Pemuda, marilah kita dengan semangat menyanyikan lagu wajib nasional ”Bangun Pemudi Pemuda” karya Alfred Simanjuntak, yang diciptakan kurang lebih tahun 1940an. Sikap badan tegak berdiri dan busungkan dada!

Bangun pemudi pemuda Indonesia
Lengan bajumu singsingkan untuk negara
Masa yang akan datang kewajibanmu lah
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa

Sudi tetap berusaha jujur dan ikhlas
Tak usah banyak bicara trus kerja keras
Hati teguh dan lurus pikir tetap jernih
Bertingkah laku halus hai putra negri
Bertingkah laku halus hai putra negri
...........♫♫♪♪
Selengkapnya...

Diposting oleh alhayat di 10/30/2008 0 komentar  

Bangku Kosong

Selasa, 28 Oktober 2008

“Kita hidup dengan cinta, namun cinta saja tak cukup untuk hidup”


Belum pulih benar kesadaranku dari berita pernikahan dua orang terdekatku di bulan Oktober ini. Betapa tidak, keputusan menikah (akad nikah dan walimahan) diambil cuma dalam waktu sebulan setelah saling berkenalan (istilah kerennya ta’aruf). Logikaku seakan tumpul karena terus-menerus me-reload pertanyaan “Mengapa? Kok bisa? Apa jadinya nanti?” Seakan legenda Roro Jonggrang terulang, mendirikan candi dalam semalam. Persiapan resepsi nikah waktunya sempit apalagi mengumpulkan saudara-saudara jauh. Belum lagi calon mempelai yang bekerja aja penghasilannya pas-pasan, paling-paling ntar tinggal di pondok mertua indah (maaf). Benar-benar ga bisa ku pahami. Menikah, bagi mereka sepertinya keputusan yang mudah.

Kini, dihebohkan lagi dengan berita seorang Syekh pengasuh sebuah pondok pesantren di Semarang menikah kedua kalinya dengan gadis belia berumur 12 th. Uniknya, yang menyeleksi calon istri mudanya (muda dalam arti sebenar-benarnya) adalah istri pertamanya. Dan kabarnya pula, sang ayah ikhlas dan berbangga karena anaknya terpilih menjadi ‘selir’ sang Syekh dari proses seleksi yang ketat (hi hi hi… seperti ajang pencari bakat yang ramai di Indonesia saat ini). Pikiran pertama setelah pandangan pertamaku melihat istri mudanya: Wah… ni orang beruntung dapat bibit unggul, bisa untuk memperbaiki keturunan. Usut punya usut, katanya mau didik untuk mengurusi usahanya yang kini telah beromzet miliaran Rp.

Namun, ada juga teman (pi.) yang telah berumur 30+ namun belum menikah juga (masyarakat seringkali men-judge perempuan pada usia tsbt atau lebih sebagai perawan tua, padahal belum tentu masih perawan…*&%#@!). Bukan karena ga laku menurutku, karena paras cukup menawan dan penghasilan lumayan. Mungkin karena terlalu pilih-pilih. Kata bulekku (alm.), dalam hal jodoh, “wong lanang iku menang milih, nanging yen wong wadon iku menang nolak”. Karena itu pria sering pilih-pilih wanita dan harus bertarung merebutkannya karena banyak pesaingnya. Dan karena wanita menang nolak, maka banyak pria yang menjadi fans berat MU sampe mau gantung diri di bawah pohon kacang (bukan Manchester United yang notabene klub liga Inggirs terkenal, tapi kepanjangan dari Merana United, kumpulan orang-orang patah hati jaman SMA-ku dulu).

Setelah beberapa kali termenung, ku berusaha memahami bahwa mati, jodoh, dan rizki adalah mutlak di tangan Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Betapapun manusia, berencana dengan logikanya, berusaha dengan tenaganya, dan berdoa dengan hatinya, namun hasil final, Tuhan yang menentukan sebagaimana telah tertulis di lauful mahfudz. Sungguh, sebuah hal yang terkadang masih sulit untuk dipahami dan diyakini. Mungkin karena itulah, “bangku merah”-ku (dan juga sebagian dari anda) masih kosong, belum kita duduki secara formal dan syah menurut agama dan negara. Semoga skenario indah Tuhan kan tertulis untuk kita.

 **####**

Seandainya kamu telah menemukan someone special  yang mampu menggetarkan hatimu, sedangkan kamu sendiri hidup aja masih susah, apalagi untuk menghidupi orang lain.

  1. Apakah demi sang pujaan hati, kamu berjuang mati-matian merebut hatinya dan mempertahankannya segenap hati? Ibarat pepatah: Lautan kan diseberangi, gunung kan didaki, dukun kan dikunjungi, dan kuburanpun kan digali. Ra entuk prawane, tak enteni jandane. Ataukah cukup memperjuangkannya sewajarnya, ra entuk deweke yo ra patekèn. Kalau jodoh tak lari kemana.
  2. Beranikah kamu membuat keputusan menikah dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan tetap memberi rizki-Nya sesuai keadaan kita dari jalan yang tidak disangka-sangka? Tetap optimis seperti cicak yang tak bisa terbang, namun dapat tetap hidup (memperoleh rizki) meskipun mangsa/makanannya memiliki sayap dan gesit (nyamuk). Dengan modal nekad (cinta) mengalahkan logika bahwa hidup sendiri masih susah dan berantakan apalagi hidup dengan orang lain (khusus bagi pria yang menjadi tulang punggung rumah tangga).

 

Selengkapnya...

Diposting oleh alhayat di 10/28/2008 0 komentar  

Blogger Login Form

Please enter your username and password to enter your Blogger Dasboard page!